Beranda | Artikel
Awas Paham Pluralisme
Jumat, 11 Oktober 2019

“Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan pernah diterima darinya, dan di akhirat nanti pasti tergolong orang-orang yang merugi.” (Q.S. Ali Imran : 85)

– Acuan kebenaran dalam Islam bersumber dari dua sumber hukum : Al Quran dan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
– Dakwah Rasulullah menyeru kepada Agama Islam di tengah pluralitas agama kaum musyrikin adalah bukti tidak benarnya keyakinan semua agama adalah benar.
– Makna jalan yang lurus dalam Q.S. A-Fatihah ayat 6 adalah mengesakan Allah dalam hal peribadahan dan menunggalkan rasul-Nya dalam hal ketaatan.  (Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dinukil dalam Fathul Majid)
– Amal disebut sebagai amal salih bila terpenuhi 2 syarat :
1) Ditujukan hanya untuk Allah Ta’ala, tidak tercampur kesyirikan
2) Mencocoki tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Bagi umat Islam, kebenaran agama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah perkara yang tidak bisa lagi diutak-atik. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan pernah diterima darinya, dan di akhirat nanti pasti tergolong orang-orang yang merugi.” (Q.S. Ali Imran : 85).

Meskipun demikian, ternyata masih ada juga orang (yang kadang disebut-sebut sebagai cendekiawan) mencoba menularkan kesesatan berfikir ke dalam tubuh umat Islam. Mereka berpendapat bahwa semua agama benar berdalih dengan kenyataan pluralitas (kemajemukan) agama yang ada di dunia ini.

Benarkah semua agama benar?

Pernyataan semua agama benar sesungguhnya pernyataan yang tidak ilmiah, bahkan tidak masuk akal, dan yang lebih parah lagi bertentangan dengan Al-Quran. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kebenaran itu adalah berasal dari Rabbmu, maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang ragu.” (Q.S. Al-Baqarah : 147).

Dengan mencermati ayat di atas dengan pikiran yang jernih, jelas bagi kita bahwa :

[1] Kebenaran bersumber dari Allah Ta’ala.

[2] Allah Ta’ala telah menurunkan Al-Quran sebagai petunjuk menuju kebenaran.

[3] Al-Quran sedikitpun tidak boleh diragukan.

[4] Orang-orang yang dapat memetik pelajaran dan bimbingan Al-Quran, lalu yang akan bisa menerapkannya di dalam kehidupan adalah orang-orang yang bertakwa; yaitu yang menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

[5] Di antara ciri orang yang bertakwa adalah mengimani perkara gaib (iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, takdir, dan sebagainya), mendirikan shalat, menunaikan zakat, membenarkan wahyu yang diturunkan Allah kepada para rasul sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam –dan sekarang syariat mereka telah dihapuskan dengan syariat beliau-, dan juga mengimani hari akhirat.

Dengan memperhatikan hal yang telah disebutkan, maka tampak dengan jelas bagi kita betapa rusaknya keyakinan bahwa semua agama benar. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik akan berada di dalam neraka Jahannam, mereka kekal di sana selama-lamanya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk.” (Q.S. Al-Bayyinah: 6).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat Yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidaklah ada seorang pun di antara umat manusia ini –Yahudi ataupun Nasrani- yang mendengar kenabianku kemudian meninggal dalam keadaan tidak mau beriman dengan ajaranku kecuali dia pasti termasuk penghuni neraka.” (H.R. Muslim).

Semuanya menawarkan jalan keselamatan?

Menawarkan jalan keselamatan, semua orang pun bisa. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika penawaran tersebut tidak bukti dan dalil yang sah alias tawaran palsu.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Mereka (orang-orang kafir) berkata; ‘Jadilah kamu sebagai penganut agama Yahudi atau Nasrani pasti kamu akan mendapat petunjuk’. Katakanlah (kepada mereka itu), ‘Bahkan, ajaran yang benar adalah agama Ibrahim yang hanif (bertauhid), dan dia sama sekali bukan termasuk orang-orang musyrik’.” (Q.S. Al-Baqarah: 135).

Kalau memang agama-agama selain Islam dapat mengantarkan kepada keselamatan lantas untuk apa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersusah payah berdakwah di Mekkah untuk memberantas pemujaan berhala, mendakwahi orang-orang Yahudi dan Nasrani supaya masuk Islam, dan bahkan memerangi mereka?

Dan untuk apa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam repot-repot mengajak pamannya Abu Thalib –menjelang kematiannya- untuk mengucapkan syahadat? Aduhai, tampaknya orang-orang yang termakan pemikiran nyeleneh semacam itu benar-benar tidak memahami sejarah? Atau mungkin saja otak mereka telah dicuci? Allahu yahdiihim.

Hanya ada satu jalan keselamatan

Sesungguhnya orang yang menganggap bahwa semua agama menawarkan jalan keselamatan adalah orang yang telah rusak akalnya. Mengapa demikian? Perhatikan saja berbagai macam ajaran agama yang ada di dunia ini yang satu sama lain saling bertentangan. Orang-orang Nasrani menganggap Nabi Isa ‘alaihis salam adalah anak Tuhan, sementara umat Islam menganggap beliau adalah hamba dan rasul-Nya kepada kaumnya. Bagaimana mungkin ajaran yang saling bertentangan ini bisa dikatakan semuanya menawarkan jalan keselamatan?

Allah Ta’ala mengajarkan kepada kita –melalui Sunnah nabi-Nya- agar berdoa di setiap rakaat shalat kita, “Ya Allah, tunjukilah kepada kami jalan yang lurus.” (Q.S. Al Fatihah: 6). Jalan yang lurus itu tidak lain adalah Islam dengan segala rincian syariat yang ada di dalamnya, yang bersih dari penyimpangan dalam hal ilmu maupun amal.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya inilah jalanku yang lurus, ikutilah ia dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain sebab itu akan menceraiberaikan kalian dari jalan-Nya.” (Q.S. Al-An’aam: 153).

Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkan hakikat shirathal mustaqim. Hakikat dari jalan yang lurus itu adalah jalan yang Allah hamparkan untuk hamba-hamba-Nya agar mereka bisa sampai kepada-Nya. Tidak ada jalan untuk menemui-Nya kecuali jalan itu. Semua jalan akan tertutup dan buntu bagi manusia selain jalan Allah itu yang telah diterangkan melalui lisan para rasul-Nya, dan Allah jadikan jalan itu mengantarkan hamba untuk menjumpai-Nya (di akhirat kelak).

Hakikat dari jalan itu adalah mengesakan Allah dalam hal peribadahan dan menunggalkan rasul-Nya dalam hal ketaatan. Sehingga tidak boleh sesuatupun disekutukan dengan Allah dalam hal ibadah kepada-Nya, dan tidak boleh mengangkat manusia manapun untuk disekutukan dengan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ketaatan. (Dinukil dari Fath Al-Majid, hal. 25).

Bukankah mereka juga beriman dan berbuat baik?

Sebagian orang yang sudah termakan oleh penyimpangan yang satu ini bisa saja mengatakan, “Bukankah mereka (Yahudi dan Nasrani serta pemeluk agama lain) juga beriman dan berbuat baik? Padahal, Allah menjanjikan keberuntungan bagi orang yang beriman dan berbuat baik.

Saudaraku, marilah kita cermati hal ini dengan pikiran yang jernih. Apakah makna iman dan apa yang dimaksud dengan berbuat baik atau amal salih? Karena boleh jadi pemahaman kita tentang iman masih terbatas pada keyakinan bahwa Allah itu ada, atau amal salih adalah berbuat baik kepada sesama manusia belaka. Padahal ternyata kedua istilah itu tidak sesempit yang mereka sangka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Iman itu adalah kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan kamu beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” (H.R. Muslim).

Keimanan kepada Allah meliputi iman terhadap sifat-sifat Allah sebagai Tuhan, iman bahwa Allah sebagai satu-satunya Dzat yang berhak diibadahi, dan iman terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah yang lainnya. Sedangkan keimanan kepada Rasul ialah dengan membenarkan beritanya, menaatinya, dan beribadah kepada Allah dengan syariat-Nya.

Oleh sebab itu amal tidak dinamakan sebagai amal salih kecuali jika memenuhi 2 syarat :

1) Ikhlas/bertauhid dan mengikuti tuntunan.

2) Tidak tercampur syirik dan bukan bid’ah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak ada tuntunannya dari agama kami maka tertolak.” (H.R. Muslim).

Apabila orang-orang kafir dan musyrik berbuat baik kepada sesama di dunia –tapi mereka tetap bertahan di atas kekafirannya- maka Allah akan membalas kebaikan mereka itu di dunia saja, sementara di akhirat Allah mengharamkan mereka masuk ke dalam surga. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah mengharamkan atasnya surga dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (Q.S. Al-Maa’idah: 72).

Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menginginkan kesenangan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka Kami akan menyempurnakan balasan atas amal mereka di sana (di dunia), dan mereka di sana sama sekali tidak dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak mendapatkan apa-apa di akhirat kelak kecuali neraka, dan lenyaplah seluruh yang mereka lakukan dan sia-sialah amal yang dulu mereka kerjakan.” (Q.S. Hud: 15-16).

Di akhir tulisan ini, pantaslah jika kita semua mau merenungkan nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkanlah ajaran yang aku tinggalkan untuk kalian ini apa adanya. Sesungguhnya sumber kebinasaan umat-umat sebelum kalian adalah karena mereka suka mempertanyakan dan sering menyelisihi nabi-nabi mereka…” (H.R. Bukhari). Bukan ajaran Nabi yang perlu dikritisi dan direvisi, namun akal kitalah yang seharusnya diperbaiki. Wallahu waliyyut taufiq.

Penulis : Ustaz Ari Wahyudi, S.Si. (Alumnus Ma’had Al-Ilmi Yogyakarta)


Artikel asli: https://buletin.muslim.or.id/bt1606/